Wednesday, January 30, 2008

ON INTERPRETING

LOST IN TRANSLATION
by Tanti Susilawati
tanti_susilawati@yahoo.com

I entered the small room packed with people without knowing what would hit me next, cos fools rush in where angels dread to tread. They said it would be a kind of meeting, but then it turned out to be a police investigation on a foreign witness.

As I was seated in front of those smoking interrogators, they just said two words, “Please translate” (well, of course they meant interpret), and as they expected me to dart out the words back and forth like a kind of machine, I felt as if I was being thrown into a bottomless abyss, had to grope in the dark before I gradually could get a grip and try to survive.

Most people think that translating/interpreting is just merely changing words into another language, so why bother explaining the context to the translators/interpreters? Well, they’re being cruel then, cos trying to translate/interpret without knowing the context is like trying to put together the pieces of a puzzle without looking at the big picture, or trying to knit something without having the pattern. Yes, you might have all the tools you need, but still you have to know where you’re going, what you’re aiming at—otherwise doing puzzle will be puzzling, and your half-done sweater will keep unraveling.

When it comes to translating, I take it very seriously, because, if I don’t translate faithfully, instead of being called a translator, I probably deserve more to be called a traitor. However, when you have to translate a written material, it might not be as challenging as trying to keep up with a speaker on the spot.

Once I was in a heated meeting of some medical teams, who, wanting to take over a hospital for themselves, each tried to come up with their opinion, and consequently, they spoke at the same time, leaving me flabbergasted. After I finally could seize up the situation, someone even snapped at me, thinking I was talking my own way, while I was just trying to make something clear (cos, as you know, we Indonesians sometimes find it hard to get right to the point and choose to wander around instead).

To prevent being in such situations again in my career as an interpreter, I made up my mind to always ask for the material beforehand, or being briefed of what I should be interpreting about. Unfortunately, sometimes it’s still impossible. But next time I am plunged into a without-preparation-interpreting, I will make it clear to the speaker to speak a sentence or two at a time, or three at the most, and not a big chunk of information which is almost impossible to be put into my limited memory capacity. After all, interpreters too, are human. Besides, it should be more important to them to have their message clearly communicated, than rush to finish their speech and have their information distorted or truncated unintentionally, by the poor puzzled traitor, I mean, translator.

Wednesday, January 2, 2008

Articles in Bahasa Indonesia

KISAH PENERJEMAHAN THE FIFTH COLUMN KARYA HEMINGWAY

Pada sekitar pertengahan tahun 2003, seorang kolega penerbitan kecil dari Pasuruan, Jawa Timur menawarkan kepada saya untuk menerjemahkan buku berjudul The Fifth Column and Four Stories of Spanish Civil War karya Ernest Hemingway. Buku ini kemudian diterbitkan dengan judul The Fifth Column (Angkatan Kelima) pada bulan Agustus 2003 oleh penerbit Pedati. Sebagaimana tersirat dari judulnya, buku ini berisi sebuah naskah drama berjudul The Fifth Column dan empat buah cerita pendek karya Hemingway, yang kesemuanya berkisah atau berlatar Perang Sipil Spanyol. Konon naskah drama The Fifth Column merupakan satu-satunya naskah drama yang ditulis oleh Hemingway. Naskah ini ditulis pada tahun 1937 sewaktu dia masih menjadi koresponden untuk surat kabar the North American Alliance di Madrid. Saya tertarik untuk menerima tawaran tersebut setidaknya dengan dua alasan. Pertama, sebagai seorang teaterawan yang pernah menyutradarai dan memainkan sejumlah naskah asing, saya merasakan keingintahuan atas naskah drama satu-satunya yang ditulis oleh salah seorang maestro sastra dunia. Kedua, kesemua karya yang ada dalam buku tersebut belum pernah saya baca sebelumnya. Saya pikir ini sebuah kesempatan untuk membaca dan mengapresiasi karya-karya Hemingway. Sudah barang tentu, di luar kedua hal itu ada pertimbangan finansial juga.

PROSES PENERJEMAHAN
Secara umum proses penerjemahan karya ini dibagi tiga, yaitu pra penerjemahan, penerjemahan, dan pasca penerjemahan. Proses pra penerjemahan bisa dikata merupakan proses persiapan. Di dalamnya saya menggali kembali schemata (latar belakang pengetahuan) secuil tentang Hemingway dan karyanya. Lalu dengan bantuan internet saya mencoba menggali lebih jauh pengetahuan tentang Hemingway, terutama dalam kaitannya dengan buku tersebut. Namun hal ini tidak perlu saya lakukan dengan amat mendalam. Saya hanya mencari informasi yang saya kira akan membantu proses menerjemahkan the Fifth Column. Dalam proses persiapan ini saya juga membaca sekilas alias skimming atas buku yang hendak saya terjemahkan ini. Proses selanjutnya adalah proses penerjemahan itu sendiri, yaitu bergulat memilih dan memilah padanan dan berusaha bersentuhan sekaligus menghayati karya yang diterjemahkan. Sedangkan proses pra penerjemahan adalah memeriksa kembali padanan kata atau mencari kata-kata yang sukar diterjemahkan. Untuk kasus penerjemahan the Fifth Column, pertimbangan gaya penulisan pengarang agaknya juga perlu mendapat perhatian tersendiri. Proses ini saya lakukan sembari melakukan pemeriksaan silang (cross-check) dengan editor.

KENDALA DAN ATAU TANTANGAN PENERJEMAHAN
Secara garis besar, di luar kendala umum penerjemahan, ada dua macam kendala (atau saya lebih suka menyebutnya tantangan) dalam penerjemahan buku Hemingway ini. Kendala dan atau tantangan pertama adalah gaya menulis Hemingway yang cenderung bergaya jurnalistik. Hal ini dapat dimaklumi karena profesinya sebagai wartawan. Kadang narasinya bergaya setengah feature (karangan khas), dan kadang kita diajak seolah menjadi reporter yang menyaksikan langsung sebuah peristiwa dari dekat. Saya berkonsultasi dengan editor, apakah gaya ini dipertahankan atau saya mengubahnya dengan gaya yang `lebih komunikatif’ sebagai sebuah cerita. Editor menyarankan untuk tetap mempertahankan gaya Hemingway agar gaya itu tetap sampai kepada pembaca. Berikut ini saya berikan contoh petikan gaya jurnalistik investigatif yang amat kental dari cerpen Night Before the Battle yang saya terjemahkan menjadi Malam Sebelum Pertempuran:

….Below us a battle was being fought. You could see it spread out below you and over the hills, could smell it, could taste the dust of it…

Terjemahan:
Di bawah kami pertempuran tengah berlangsung. Kau bisa melihat pertempuran itu meluas di bawah dan juga di atas bukit, kau bisa mencium baunya, bisa merasakan debunya...

Sementara itu, tantangan kedua adalah persoalan multikulturalisme dalam naskah-naskah Hemingway ini. Di dalammnya ada orang Spanyol, Amerika, Rusia, Jerman dan lain-lain. Jika hanya menyangkut asal usul mungkin tidak akan menjadi masalah. Persoalan timbul ketika ada kaitannya dengan bahasa. Misalkan saja, meskipun menulis dalam bahasa Inggris, karena latarnya di Spanyol, Hemingway mempertahankan sapaan-sapaan umum dalam bahasa Spanyol. Sapaan-sapaan itu diantaranya Salud (Salam), Senor (Tuan), Senorita (Nona), atau kadang sapaan orang Rusia kamerad (yang satu ini mengingatkan saya pada film G 30S). Strategi penerjemahan yang saya lakukan adalah tetap mempertahankannya dalam bahasa asli sebagaimana ditulis Hemingway, tapi tentunya dengan memberikan catatan kaki. Masalahnya menjadi lebih rumit ketika saya menghadapi tokoh lokal orang Spanyol yang tidak mahir bahasa Inggris. Ini bisa dijumpai dalam naskah The Fifth Column. Untuk lebih jelasnya saya kutipkan sedikit di bawah:

ANITA. Listen good. I like you if you was sick. I like you if you dry up and be ugly. I like you if you hunchback.
PHILIP. Hunbacks are lucky.
ANITA. I like you if you unlucky hunchback. I like you if you got no money. I like you if you hunchback.

Untuk mempertahankan kesan ketidakcakapan berbahasa Inggris, maka saya tetap menggunakan struktur kalimat tokoh Anita, dan tidak membetulkannya. Mungkin akan terkesan seperti orang asing yang berbahasa Indonesia. Inilah hasil terjemahan saya:

ANITA. Dengar baik-baik. Aku suka kamu kalau kamu sakit. Aku suka kamu kalau kamu banyak bicara dan jelek. Aku suka kalau kamu bungkuk.
PHILIP. Bungkuk itu keberuntungan.
ANITA. Aku suka kalau kamu bungkuk malang. Aku suka kamu kalau kamu tidak punya uang. Kamu ingin? Aku buatkan.

Terkesan aneh memang, tapi itulah tuntutan mempertahankan gaya. Di luar kedua kendala itu, tentunya saya juga menghadapi kendala umum mencari padanan. Ya, kendala bergulat, memilah dan memilih kata. Itulah sekiranya sekelumit pengalaman saya. Oh ya, sebagai penutup menarik kiranya saya sampaikan kata-kata yang dikutip oleh penerbit sebagai kata pengantar. Mereka mengutipnya dari catatan Hemingway dalam Notes for the Next War:

….Pada jaman dahulu mereka menulis betapa manis dan terhormat orang yang mati demi negaranya. Tapi dalam perang modern, kematianmu tidak lagi manis dan terhormat. Seperti seekor anjing kau akan mati tanpa alasan yang jelas….

Salud Kamerad,

Abdul Mukhid